Panas terik tak membuat pengayuh becak di Jalan Sriwijaya putus asa. Meski jumlah mereka menyusut, masih ada yang setia dengan kendaraan legendaris itu. Hanya mengharapkan uang Rp 5.000 per orang, tukang becak di Kualatungkal tak mau kalah saing dengan tukang ojek.
ANDRI DAMANIK, Kualatungkal
DI Jalan Sriwijaya, berteret tukang becak. Di tengah kabut asap yang mulai buram, pengayuh transportasi tradisional Kota Bersama ini tetap setia dengan becaknya. Membecak adalah salah satu harapan mereka menghidupi anak dan isteri, walau penghasilan tak seberapa.
Sekitar 1980-an, ada 1.000 tukang becak yang bergerilya di Kota Kualatungkal. Dalam perjalanannya, transportasi khas Kota Bahari ini kian menyusut.
Tahun ini, jumlah becak yang ada hanya tinggal 300-an saja. Bahkan jumlah tukang ojek lebih banyak ketimbang tukang becak di Kota Bersama ini.
Walau kalah saing, masih ada warga yang mengincar becak. Hal itulah yang membuat pembecak di Kualatungkal tetap semangat.
Yadi (28), salah satu tukang becak yang rela antri di Jalan Sriwijaya, mengatakan, lebih memilih menarik becak demi menghidupi istri dan satu anaknya. Ia mulai membecak sejak empat tahun lalu. Sebelumnya, dia ikut trawl mencari ikan di laut lepas.
“Penghasilan tidak menentu. Kadang-kadang dapat Rp 15 ribu sehari, bahkan bisa sampai Rp 20 ribu,” kata lelaki berdarah Jawa ini kepada infotanjab.com.
Yadi hanya bisa pasrah. Ia tidak punya langganan tetap sepertihalnya pembecak lainnya. Ia mencari penumpang di Jalan Sri Wijaya, menunggu siswa pulang dari sekolah.
Setiap subuh, Yadi harus keluar rumah. Sasarannya adalah ibu-ibu yang ingin berbelanja di pasar tradisional. Biasanya, sebagian pengunjung pasar menggunakan becak membawa barang belanjaan dari pasar.
“Tapi kadang-kadang kita tidak dapat penumpang. Sebagian besar, ibu-ibu yang belanja di pasar sudah ada langganan atau membawa kendaraan sendiri,” katanya.
Dibanding ikut trawl, penghasilan dari becak memang tidak seberapa. Kalau ikut trawl, dia bisa mendapat Rp 200 ribu per minggu. “Lumayan untuk dibawa pulang. Kalau sekarang, lepas makan saja,” katanya lagi.
Saat ini bapak anak satu ini masih tinggal di rumah kontrakan bersama anak dan isterinya. Tiada pilihan lain selain menarik becak. “Kalau ada kerja lain, mungkin saya pindah kerja yang bisa dapat penghasilan lumayan,” tukasnya.
Begitu juga dengan Bani (32). Ia sudah enam tahun menekuni pekerjaannya, menarik becak keliling Tungkal. Penghasilannya juga tidak menentu, hanya lepas makan untuk isteri dan dua anaknya.
“Sehari ini, baru dapat Rp 15 ribu. Penghasilan tidak seberapa untuk dibawa pulang,”tutur lelaki berdarah Banjar ini.
Sebelum menarik becak, Bani juga pernah menjadi nelayan. Di tengah mahalnya minyak, dan penghasilan tak menentu, ia lebih memilih menjadi tukang becak. Bermodalkan uang Rp 400 ribu, akhirnya ia membeli becak bekas.
“Kalau becak baru, harganya mahal bisa sampai Rp 2 juta. Cari yang bekas saja, yang penting bisa cari duit,”ujar bapak dua anak ini.(*)
JAMBI – Tim dari BPOM Provinsi Jambi, Dinas Kesehatan Kota Jambi dan BGN Provinsi Jambi mengecek Dapur Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) Polda Jambi, Sen
JAMBI – Pemerintah Provinsi Jambi terus mengawasi pendistribusian dan mencegah penyalahgunaannya di Provinsi Jambi. Dengan tagine “Tepat” yakn
JAMBI- Dua orang oknum guru di SMA Negeri 4 Tanjung Jabung Timur resmi dilaporkan ke Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) Provinsi Jambi dan Dinas Pendidika
Dalam beberapa tahun terakhir, wajah politik hukum Indonesia memperlihatkan arah yang mengkhawatirkan. Di tengah sistem demokrasi yang seharusnya menjamin parti
MUARO JAMBI – Ketua DPRD Muaro Jambi Aidi Hatta, S.Ag memberikan tanggapannya terkait pelayanan Perumda Tirta Muaro Jambi yang kerab dikeluhkan masyarakat